Menahan Marah Bisa Mengantarkan ke Surga
Seorang lelaki bernama Jariyah bin Qudamah mendatangi Rasulullah saw. “Berilah aku wasiat,” pinta seorang lelaki tersebut. “Engkau jangan marah!” jawab Rasulullah saw. Sang sahabat tersebut mengulangi beberapa kali permintaannya. Dan jawaban Rasulullah saw pun tetap, “Engkau jangan marah!”Jangan marah! Sebuah nasihat singkat dari Nabi saw. Meski singkat, nasihat tersebut padat akan berbagai perkara kebaikan. Buktinya ketika lelaki tersebut mengulang-ulang permintaannya, Rasulullah saw tetap memberikan jawaban yang sama. Nasihat yang diberikan Rasulullah saw kepada lelaki tersebut juga menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Ketika seseorang marah, maka darahnya bergejolak. Sehingga dia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal. Selain itu, marah juga dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terpuji; memukul, menyiksa dan menyakiti. Bahkan, biasanya disertai dengan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, dan berkata kotor.
Sejatinya marah itu adalah naluri yang diberikan oleh Allah swt. Marah tidaklah bisa dihilangkan. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”
Meski marah adalah salah satu fitrah manusiawi pemberian sang Khaliq, namun Allah SWT dan Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk menahannya.
Imam Al-Ghazali, mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa menahan dirinya.”
Imam Nawawi menyatakan bahwa larangan marah itu bukan untuk marah kita sendiri, bukan berarti kita tidak boleh marah, tetapi jangan sampai kemarahan kita ditumpahkan dengan kekasaran atau kata-kata kotor yang mengakibatkan kebencian dan kerusakan.
Marah yang Terpuji
Marah ada yang harus ditahan, ada pula yang diperbolehkan. Sebab dibolehkannya marah, apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar.Rasulullah Saw tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah, maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Nabi Saw melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maka marah yang seperti dicontohkan Rasulullah saw adalah marah yang diperbolehkan. Bahkan, ia marah yang terpuji. Adapun marah yang tidak dibolehkan (harus ditahan) apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu amarahnya tidak mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran. Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi orang yang mudah marah dan menahan marah kita agar kemarahan kita tidak berlebihan.
Kuat Itu Menahan Marah
Sekilas, jika kita melihat orang yang berbadan tinggi besar, tegap, dan berotot, maka kita akan mengatakan, “Dia orang yang kuat.” Tetapi jika dia tak mampu menahan marah, maka hakikatnya dia bukan orang yang kuat.Kenapa? Karena hakikatnya, orang yang kuat itu, adalah orang yang mampu menahan marahnya. Tentu marah yang tak berkaitan dengan pembelaan agama. Beliau saw memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Pada diri manusia terdapat tiga kekuatan jiwa: kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan akal. Kebaikan jiwa seorang muslim sangat ditentukan oleh kebaikan tiga kekuatan ini.
Oleh karena itu Rasulullah menyeru kepada setiap muslim supaya memiliki kemampuan untuk mengawal dan mengendalikannya. Jangan sampai dia menjadi orang yang lemah dan tidak berdaya menguasai dan mengendalikan tiga kekuatan tersebut.
Maka sangat tepat jika Rasulullah menyebutkan, “Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.”
Tahan Marah, Raih Jannah
Rasulullah saw juga menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau saw bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya, “Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” (HR. Ath-Thabarani)
Nah, betapa mulianya orang yang mampu menahan dan mengendalikan marah. Selain, digambarkan sebagai orang yang kuat, dia juga akan diganjar dengan jannah (surga). Bahkan, dia bisa memilih bidadari yang dia sukai. Subhanallah! Jika demikian masihkah kita mengumbar nafsu amarah kita?
Meski marah adalah naluri manusiawi tetapi kita tak boleh mengumbar semau diri kita sendiri. Ia tetap harus dikendalikan. Pastinya demi meraih derajat tinggi di sisi Allah berupa jannah. Mari kita kendalikan marah demi meraih jannah. [muslimideal.com]

0 komentar:
Posting Komentar