![]() |
Ilustrasi (gbr: iwanjanuar.com) |
Abdul Wahhab bin Atha’ Al-Khaffaf berkata, “Masyayikh penduduk Madinah menceritakan kepadaku bahwa Farukh Abu Abdirrahman bin Rabi’ah pergi keluar dalam rangka menjadi pasukan utusan menuju Khurasan pada masa Bani Umayyah untuk berperang. Pada saat itu, Rabi’ah masih terkandung di perut ibunya. Ia meninggalkan uang sebanyak 30.000 dinar kepada istrinya, Ummu Rabi’ah.
Setelah 27 tahun, Farukh mendatangi Madinah dengan mengendarai seekor kuda, dan tangannya memegang tombak. Lalu ia turun, dan membuka pintu dengan tombaknya. Lalu Rabi’ah pun keluar, dan berkata, “Wahai musuh Allah, apakah kamu akan menyerang rumahku?”
Farukh membantah, “Wahai musuh Allah, engkau justru yang masuk ke dalam rumahku.” Kemudian keduanya pun berjibaku, dan masing-masing berusaha mengalahkan lawannya, sehingga para tetangga berkumpul. Kabar ini sampai kepada Malik bin Anas dan syaikh yang lainnya, lalu mereka pun datang untuk menyaksikan Rabi’ah dengan mata kepala mereka sendiri. Rabi’ah pun berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu kecuali di hadapan penguasa.” Farukh justru malah beralasan, “Demi Alah, aku tidak akan melepaskanmu kecuali dengan kekerasan, apalagi engkau bersama istriku.”
Suasana pun menjadi gaduh. Tetapi ketika orang-orang melihat imam Malik, mereka diam.
Lalu imam Malik berkata (kepada Farukh), “ Ayyuhasy syaikh, laka si’atun fî ghairi hâdzihid dâr..., wahai syaikh, engkau memiliki keluasan di selain rumah ini.”
Syaikh tersebut berkata, “Hiya dârî waanâ Fârûkh...., ini adalah rumahku, dan aku adalah Farukh.”
Dari dalam rumah, istrinya mendengar suara tersebut, dan keluar, kemudian berkata, “Ini adalah suamiku, dan yang ada di belakangnya adalah anakku. Aku-lah yang mengandungnya.”
Kemudian keduanya pun berpelukan, dan menangis.
Setelah itu, Farukh masuk rumah, dan berkata, “Ini anakku?”
“Iya, benar.” Jawab istrinya.
Farukh berkata lagi, “Keluarkanlah uang yang ada bersamamu, dan ini aku juga membawa 40.000 dinar lagi.”
Istrinya menjawab, “Aku telah menimbunnya, dan aku akan mengeluarkannya setelah beberapa hari.”
Setelah itu, Rabi’ah pergi ke masjid, dan duduk di halaqahnya. Halaqahnya didatangi oleh imam Malik, Hasan bin Zaid, Ibnu Abi Ali Al-Lahbi, Al-Masahiqi, dan pemuka penduduk Madinah, serta manusia yang berkerumun di sisinya.
Istri Farukh kemudian berkata kepada suaminya, Farukh, “Keluarlah, lalu shalatlah di masjid Rasulullah saw.”
Farukh pun keluar (untuk shalat). Selesai shalat, ia melihat halaqah yang besar. Kemudian ia tertarik mendatanginya, lalu berdiri di sana. Manusia memberikan sedikit jalan untuknya. Pada saat itu, Rabi’ah menundukkan kepalanya, sehingga samar-samar ia melihatnya, apalagi kepalanya terlalu menunduk, sehingga Farukh pun menjadi ragu apa benar itu Rabi’ah.
Farukh pun bertanya, “Siapa lelaki itu?”
“Ini adalah Rabi’ah bin Abi Abdirrahman.” Jawab mereka.
Farukh pun berkata, “Faqad rafa’allâhu ibnî..., sungguh, Allah telah meninggikan kedudukan anakku.”
Farukh pun bergegas kembali ke rumahnya, dan berkata kepada istrinya, “Sungguh, aku melihat anak kita dalam kondisi yang belum pernah kulihat dari kalangan ahli ilmu dan ahli fikih yang sedemikian itu.”
Istrinya berkata, “Faayyuhumâ ahabbu ilaika; tsalâtsûna alfa dînârin au hâdzâl ladzî huwa fîh..., lantas, manakah yang lebih engkau suka; uang 30.000 dinar, atau anakmu yang sekarang seperti ini?”
Farukh menjawab, “Tidak, demi Allah, inilah yang kuinginkan.”
Istrinya menjawab, “Aku telah menginfakkan seluruh harta untuknya.”
Farukh pun menjawab, “Fawallâhi mâ dhayya’tihi..., demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakannya.” Kisah ini selesai sampai di sini.
Begitulah Rabi’ah Ar-Ra’yi. Beliau meninggal pada 136 H. Malik bin Anas mengatakan, “Dzhahabat halâwatul fiqh mundzu mâta Rabî’atur Ra’yi..., kenikmatan fikih telah lenyap sejak Rabi’ah Ar-Ra’yi meninggal dunia.” Dan demikianlah perjuangan seorang ibu yang mendidik anaknya menjadi ulama terkemuka.
Jadi, seorang ibu memiliki peran penting dalam mendidik-mentarbiyah dan menta’dib anak –tanpa menafikan peran seorang ayah. Karena sejatinya para ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Sumber: Balada Cinta Penemu Kalung Permata, Ibnu Abdil Bari
0 komentar:
Posting Komentar